My Galery

WELCOME MY BLOGER . vickybabel10.blogspot.com. DRILLING. RECORDING. HSE. TOPOGRAFI. FREELOADING. CLEARING / BRIDGING. SEISMIC SURVEY ACQUISITION

Wednesday, August 24, 2016

Sejarah Industri Migas Indonesia

Sejarah Industri Migas Indonesia 


Proses Industri Migas (Electric well logging.)


Minyak bumi mulai dikenal oleh bangsa Indonesia mulai abad pertengahan. Orang Aceh menggunakan minyak bumi untuk menyalakan bola api saat memerangi armada Portugis. Perkembangan migas secara modern di Indonesia dimulai saat dilakukan pengeboran pertama pada tahun 1871, yaitu di desa Maja, Majalengka, Jawa Barat, oleh pengusaha belanda bernama Jan Reerink. Akan tetapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkandan akhirnya ditutup.Penemuan sumber minyak yang pertama di Indonesia terjadi pada tahun 1883 yaitu lapangan minyak  Telaga Tiga dan Telaga Said di dekat Pangkalan Brandan oleh seorang Belanda bernama A.G. Zeijlker. Penemuan ini kemudian disusul oleh penemuan lain yaitu di Pangkalan Brandan dan Telaga Tunggal. Penemuan lapangan Telaga Said oleh Zeijlker menjadi modal pertama suatu perusahaan minyak yang kini  dikenal sebagai Shell. Pada waktu yang bersamaan, juga ditemukan lapangan minyak Ledok di Cepu, Jawa Tengah, Minyak Hitam di dekat Muara Enim, Sumatera Selatan, dan Riam Kiwa di daerah Sanga-Sanga, Kalimantan.Menjelang akhir abad ke 19 terdapat 18 prusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Pada tahun 1902 didirikan perusahaan yang bernama Koninklijke Petroleum Maatschappij yang kemudian denganShell Transport Trading Company melebur menjadi satu bernama The Asiatic Petroleum Company atau Shell Petroleum Company. Pada tahun 1907 berdirilah Shell Group yang terdiri atas B.P.M., yaitu Bataafsche Petroleum Maatschappij dan Anglo Saxon. Pada waktu itu di Jawa timur juga terdapat suatu perusahaan yaitu Dordtsche Petroleum Maatschappij namun kemudian diambil alih oleh B.P.M.Pada tahun 1912, perusahaan minyak Amerika mulai masuk ke Indonesia. Pertama kali dibentuk perusahaan N.V. Standard Vacuum Petroleum Maatschappij atau disingkat SVPM. Perusahaan ini mempunyai cabang di Sumatera Selatan dengan nama N.V.N.K.P.M (Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij) yang sesudah perang kemerdekaan berubah menjadi P.T. Stanvac Indonesia. Perusahaan ini menemukan lapangan Pendopo pada tahun 1921 yang merupakan lapangan terbesar di Indonesia pada jaman itu.Untuk menandingi perusahaan Amerika, pemerintah Belanda mendirikan perusahaan gabungan antara pemerintah dengan B.P.M. yaitu Nederlandsch Indische Aardolie Maatschappij. Dalam perkembangan berikutnya setelah perang dunia ke-2, perusahaan ini berubah menjadi P.T. Permindo dan pada tahun 1968 menjadi P.T. Pertamina.Pada tahun 1920 masuk dua perusahaan Amerika baru yaitu Standard Oil of California dan Texaco. Kemudian, pada tahun 1930 dua perusahaan ini membentuk N.V.N.P.P.M (Nederlandsche Pasific Petroleum Mij) dan menjelma menjadi P.T. Caltex Pasific Indonesia, sekarang P.T. Chevron Pasific Indonesia. Perusahaan ini mengadakan eksplorasi besar-besaran di Sumatera bagian tengah dan pada tahun 1940 menemukan lapangan Sebangga disusul pada tahun berikutnya 1941 menemukan lapangan Duri. Di daerah konsesi perusahaan ini, pada tahun 1944 tentara Jepang menemukan lapangan raksasa Minas yang kemudian dibor kembali oleh Caltex pada tahun 1950.Pada tahun 1935 untuk mengeksplorasi minyak bumi di daerah Irian Jaya dibentuk perusahaan gabungan antara B.P.M., N.P.P.M., dan N.K.P.M. yang bernama N.N.G.P.M. (Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Mij) dengan hak eksplorasi selama 25 tahun. Hasilnya pada tahun 1938 berhasil ditemukan lapangan minyak Klamono dan disusul dengan lapangan Wasian, Mogoi, dan Sele. Namun, karena hasilnya dianggap tidak berarti akhirnya diseraterimakan kepada perusahaan SPCO dan kemudian diambil alih oleh Pertamina tahun 1965.Setelah perang kemerdekaan di era revolusi fisik tahun 1945-1950 terjadi pengambilalihan semua instalasi minyak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pada tahun 1945 didirikan P.T. Minyak Nasional Rakyat yang pada tahun 1954 menjadi perusahaan Tambang Minyak Sumatera Utara. Pada tahun 1957 didirikan P.T. Permina oleh Kolonel Ibnu Sutowo yang kemudian menjadi P.N. Permina pada tahun 1960. Pada tahun 1959, N.I.A.M. menjelma menjadi P.T. Permindo yang kemudian pada tahun 1961 berubah lagi menjadi P.N. Pertamin. Pada waktu itu juga telah berdiri di Jawa Tengah dan Jawa Timur P.T.M.R.I (Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia) yang menjadi P.N. Permigan dan setelah tahun1965 diambil alih oleh P.N. Permina.Pada tahun 1961 sistem konsesi perusahaan asing dihapuskan diganti dengan sistem kontrak karya. Tahun 1964 perusahaan SPCO diserahkan kepada P.M. Permina. Tahun 1965 menjadi momen penting karena menjadi sejarah baru dalam perkembangan industri perminyakan Indonesia dengan dibelinya seluruh kekayaan B.P.M. – Shell Indonesia oleh P.N. Permina. Pada tahun itu diterapkan kontrak bagi hasil (production sharing) yang menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah konsesi P.N. Permina dan P.N. Pertamin. Perusahaan asing hanya bisa bergerak sebagai kontraktor dengan hasil produksi minyak dibagikan bukan lagi membayar royalty.Sejak tahun 1967 eksplorasi besar-besaran dilakukan baik di darat maupun di laut oleh P.N. Pertamin dan P.N. Permina bersama dengan kontraktor asing. Tahun 1968 P.N. Pertamin dan P.N. Permina digabung menjadi P.N. Pertamina dan menjadi satu-satunya perusahaan minyak nasional. Di tahun 1969 ditemukan lapangan minyak lepas pantai yang diberi nama lapangan Arjuna di dekat Pemanukan, Jabar. Tidak lama setelah itu ditemukan lapangan minyak Jatibarang oleh Pertamina. Kini perusahaan minyak kebanggaan kita ini 


tengah berbenah diri menuju perusahaan bertaraf internasional.
Salah satu daya tarik negara-negara sahabat melirik Indonesia tak lain karena negara ini memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam, terutama hasil tambang seperti batubara, minyak dan gas bumi. Namun, walau cadangannya tidak melimpah, ketiga komoditas tersebut selalu menjadi incaran. Tak hanya sebagai energi untuk menghidupkan roda perekonomian agar pertumbuhan suatu negara bisa lebih baik tapi itu dapat menjadi alasan strategis untuk menjalin kerjasama antar negara mengingat sumber daya alam itu tidak dapat diperbarui.Tidak semua daerah kekuasaan masing-masing negara memiliki cadangan minyak dan gas bumi (migas). Hal inilah yang mendorong Belanda menjajah Indonesia hingga ratusan tahun karena tidak mau ketinggalan dengan Amerika Serikat (AS) yang mulai beralih dari kayu bakar ke minyak sejak penemuan energi fosil tersebut oleh Kolonel Drake pada 1859 di Titusville, Pennsylvania.

Minyak Bumi

Selang 12 tahun kemudian, usaha Belanda mencari minyak berhasil juga menyusul penemuan oleh Jan Reering yang kemudian mulai melakukan pengeboran di lereng Gunung Ciremai, Cibodas, Jawa Barat.Pengeboran yang dilakukan Reering pun menggunakan model yang sama seperti di Pennsylvania, yaitu menggunakan tenaga lembu. Walaupun 4 sumur telah digali, ternyata tidak mendapatkan hasil yang komersial. Namun demikian, di tempat itu banyak terdapat oil seepages (rengkahan tanah yang mengandung minyak). Maka, dilakukanlah ekplorasi (pencarian) di sekitar oil seepages yang merupakan petunjuk ke arah ditemukannya sumur minyak dangkal sehingga dapat dilakukan pengeboran dengan menggunakan peralatan yang sederhana.Mengetahui sumber energi ini lebih mudah diangkut dibandingkan batubara, 12 tahun kemudian setelah usaha Reering, yaitu 1883, seorang inspektur perkebunan di daerah Langkat, Sumatera Utara, Aeliko Jana Zijlker meneruskan langkah pencarian cairan hitam yang berbau khas itu. Dengan modal yang didatangkan dari negeri Belanda, Zijlker membentuk sebuah perusahaan yang berlokasi tak jauh dari ditemukannya minyak, dikenal dengan Telaga Tunggal. Seperti yang dialami Reering, pengeboran pertamanya tidak mendapatkan hasil yang diharapkan.Namun pengeboran kedua pada 1885 berhasil memberikan nilai komersial. Karena berhasil, mulai bermunculanlah peminat untuk mencari minyak secara besar-besaran di berbagai tempat yang diperkirakan banyak terdapat oil seepages, seperti Surabaya, Jambi, Aceh Timur, Palembang dan Kalimantan Timur. Keberhasilan memperoleh minyak menciptakan usaha kegiatan produksi, pengolahan/pengilangan, serta pemasarannya. Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu membentuk perusahaan minyak Royal Dutch Company (NV. Koninklijke Nederlansche Mij. Tot Exploitatie van Petroleum Bronnen in Nederlandsch Indie).

Gas Bumi

Fisik minyak mudah dikenali dengan jelas, berbeda dengan gas bumi. Pada dasarnya, saat ditemukannya sumur minyak, secara tidak langsung terdapat gas di dalamnya. Karena tidak berwujud dan komposisinya tidak sebanyak minyak, gas bumi yang berasal dari sumur tersebut umumnya dimanfaatkan sebagai energi untuk berbagai kegiatan di sekitar wilayah lapangan produksi minyak itu sendiri (own use). Pada waktu itu, kebutuhan akan gas bumi belum terlalu banyak sehingga nilai keekonomiannya tidak mampu memberikan keuntungan.Selain itu, untuk alasan keamanan karena mudah terbakar, gas yang terperangkap dari pengeboran dan proses pengilangan minyak dibakar melalui cerobong (vent sack) atau dibuang ke atmosfer. Tetapi, kegiatan pembakaran gas tersebut menimbulkan pencemaran lingkungan, dan secara tidak langsung juga membuang potensi sumber daya alam lain yang potensial sebagai energi selain minyak.Komponen gas bumi terpenting adalah metana, propan, butana, pentana dan heksana. Jenisnya pun ada 2, yaitu associated gas (gas bumi yang terdapat bersama-sama minyak di dalam reservoir/sumur dengan jumlah tidak banyak), dan non-associated gas (gas bumi yang di dalam reservoir, tapi tidak mengandung minyak dalam jumlah yang berarti).Kandungan minyak dan gas bumi di setiap lapangan migas berbeda-beda karena komposisi hidrokarbon dan berat yang tidak sejenis. Sumur produksi dapat menghasilkan fluida yang mengandung campuran minyak, gas dan air. Fluida yang dihasilkan dari beberapa sumur akan dikumpulkan ke pusat pengolahan di suatu stasiun pengumpul (gathering station) untuk memisahkan produk minyak, gas bumi dan komponen lainnya yang dapat diolah menjadi produk petrokimia.Peningkatan pemanfaatan gas bumi, selain own use, baru dimulai saat harga minyak melambung tinggi karena terjadi perang Timur Tengah pada 1973. Padahal sebelum perang terjadi, harga minyak hanya seharga US$1.67 per barel. Ketika perang terjadi, harga meroket menjadi US$11.70 per barel, sebagai akibat tindakan boikot negara-negara penghasil minyak yang tergabung dalam Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) yang sedang berkonflik dengan Israel.Semenjak itu, harga seakan menjadi permainan. Mulai 1979, harga minyak telah mencapai US$15.65 per barel, melonjak lagi menjadi US$29.50 per barel (1980), dan terus melonjak ke US$35 per barel (1981-1982). Walaupun tingginya harga minyak bisa menjadi sumber pendapatan bagi Indonesia, secara teori ekonomi tidaklah demikian. Semakin tinggi harga, tidak ada yang mau membeli minyak.Akhirnya, negara yang biasa beli minyak mulai mencari energi alternatif, yaitu gas. Melihat ada peluang permintaan, Indonesia mulai memproduksi liquefied natural gas (LNG) dan liquefied petroleum gas (LPG). Produksi disesuaikan dengan jumlah kebutuhan, baik untuk dalam negeri maupun tujuan ekspor. Sebelumnya, gas bumi yang dihasilkan dibakar percuma dan banyak sumur gas bumi ditutup karena harganya sangat murah.Indonesia pada saat itu pun dikenal sebagai negara eksportir gas terbesar karena kebutuhan untuk dalam negeri dianggap mencukupi sehingga kelebihannya dapat dijual untuk kepentingan pemasukan negara dan menambah cadangan devisa. (anovianti muharti)Industri perminyakan di Hindia Belanda (dan kemudian di Indonesia setelah tahun 1945) diawali dengan laporan penemuan minyak bumi oleh Corps of the Mining Engineers, institusi milik Belanda, pada dekade 1850-an, antara lain di Karawang (1850), Semarang (1853), KalimantanBarat (1857), Palembang (1858), Rembang dan Bojonegoro (1858),Surabaya dan Lamongan (1858). Temuan minyak terus berlanjut pada dekade berikutnya, antara lain di daerah Demak (1862), Muara Enim (1864), Purbalingga (1864) danMadura (1866). Cornelis de Groot, yang saat itu menjabat sebagai Head of the Department of Mines, pada tahun 1864 melakukan tinjauan hasil eksplorasi dan melaporkan adanya area yang prospektif. Laporannya itulah yang dianggap sebagai milestone sejarah perminyakan Indonesia.
Selanjutnya, pada 1871 seorang pedagang Belanda Jan Reerink menemukan adanya rembesan minyak di daerah Majalengka, daerah di lereng Gunung Ciremai, sebelah barat daya kota Cirebon, Jawa Barat. Minyak tersebut merembes dari lapisan batuan tersier yang tersingkap ke permukaan. Berdasarkan temuan itu, ia lalu melakukan pengeboran minyak pertama di Indonesia dengan menggunakan pompa yg digerakkan oleh sapi. Total sumur yang dibor sebanyak empat sumur, dan menghasilkan 6000 liter minyak bumi yang merupakan produksi minyak bumi pertama di Indonesia.
Pengeboran ini berlangsung hanya berselang dua belas tahun setelah pengeboran minyak pertama di dunia oleh Kolonel Edwin L Drake dan William Smith de Titusville (1859), di negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat. Dengan demikian, pengelolaan minyak bumi di Hindia Belanda termasuk pionir (tertua) di dunia. Namun, sektor pertambangan, khususnya minyak bumi, belum menjadi andalan pendapatan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hal ini bisa dilihat dari adanya Indische Mijnwet, produk undang-undang pertambangan pertama, yang baru dibuat pada tahun 1899.
Kemudian Reerink juga melakukan pengeboran di Panais, Majalengka, Cipinang dan Palimanan, dengan mengunakan pompa bertenaga uap yang didatangkan dari Canada, menghasilkan minyak yang sangat kental yg disertai dengan air panas yang memancur setinggi 15 meter. Pada 1876 permohonan pinjaman modalnya ditolak NV Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM), sehingga akhirnya ia memutuskan menutup sumur-sumur tersebut dan kembali ke usaha dagang sebelumnya.

Sumatra Timur

Pada 1880 Aeilko Jans Zijker, seorang petani tembakau yang pindah dari Jawa ke Sumatra Timur, menemukan minyak yang merembes ke permukaan di Langkat. Kemudian sampel minyak tersebut dibawa ke Batavia untuk dianalisis, dan dari hasil penyulingan minyak tersebut menghasilkan kadar minyak sebesar 59%. Pada 1882 Zijker mencari dana ke Belanda untuk melanjutkan eksplorasi minyak tersebut. Kemudian pada 1883, Zijker memperoleh konsesi di daerah Telaga Said, Langkat seluas 500 bahu (3,5 km persegi) dari Sultan Langkat. Lapangan itu ia temukan pada saat inspeksi dan menemukan genangan yang tercampuri minyak bumi. Setahun kemudian, Zijker mulai mengebor sumur pertama, ternyata gagal. Sumur kedua, dinamakan Telaga Tunggal, akhirnya berhasil menemukan minyak di kedalaman 22 m pada 1884, dgn sumber utamanya di kedalaman 120 m.
Tahun 1890 Zijker mengalihkan konsesinya ke NV Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij (KNPM). Zijker meninggal mendadak pada Desember 1890 di Singapore. Kepemimpinan perusahaan digantikan oleh De Gelder yang berkantor di Pangkalan Brandan. Fasilitas lainnya dipasang di Pangkalan Susu. Kilang di Pangkalan Brandan dibangun pada 1892, dan mulai berproduksi dari hasil minyak ladang Telaga Said. Enam tahun setelahnya, tahun 1898, tangki-tangki penimbunan dan fasilitas pelabuhan dibangun di Pangkalan Susu. Dengan demikian, minyak mentah yang dihasilkan dapat diolah terlebih dahulu sebelum dikapalkan. Pelabuhan Pangkalan Susu merupakan pelabuhan ekspor minyak pertama di Indonesia.

Jawa Timur

Sebelumnya, di Belanda sendiri telah dibentuk NV Doordsche Petroleum Maatschappij (DPM) pada tahun 1887, oleh Adriaan Stoop, untuk mengembangkan lapangan minyak diSurabaya, Jawa Timur. Stoop memperoleh konsesi seluas 152,5 km persegi. Lapangan Kruka merupakan lapangan tertua di daerah ini. Selanjutnya, dari lapangan Djabakota berhasil diproduksikan sekitar 8000-an liter minyak bumi. Stoop kemudian membangun kilang Wonokromo pada tahun 1890  1891 untuk mengolah minyak mentah yang dihasilkan. Kilang ini merupakan yang tertua di Hindia Belanda. Pada tahun 1893, dimulailah produksi pelumas (oli, lubricant) di kilang ini. Sejak itu, banyak berkembang konsesi-konsesi di Jawa, antara lain di daerah Gunung Kendeng, Bojonegoro, Rembang, Jepon dan lain-lain. Totalnya sekitar 30 lapangan. Sejalan dengan pengembangan lapangan-lapangan itu, didirikan pula kilang di Cepu pada tahun 1894. Tahun 1899, Jan Stoop mengemudikan "mobil yang mengunakan bahan bakar gasolin" dari Surabaya ke Cepu.

Kalimantan Timur

Di Kalimantan, pengelolaan minyak bumi dimulai ketika Sultan Kutai memberikan konsesi kepada Jacobus Hubertus Menten pada tahun 1888. Pada tahun 1893, Lapangan Sanga-Sanga mulai berproduksi. Selanjutnya Shell membangun kilang Balikpapan pada tahun 1894. Produksi komersialnya sendiri baru dimulai pada tahun 1897. Pengapalan minyak pertama terjadi pada tahun 1898 oleh kapal tanker Shell ke Singapura.

Tahun 1905, KNPM menemukan minyak di Tarakan. Setelah KNPM dan Shell bergabung pada 1907, proses pembuatan lilin dimulai di Balikpapan pada 1908. Pada tahun yang sama teknologi gaslifting mulai diterapkan di lapangan Kampung Minyak. Tahun 1913, dibangun pabrik drum dan kaleng di Balikpapan. Tahun 1925 foto udara (aerial photo) diintroduksikan untuk eksplorasi minyak dan tahun 1929 Shell mengintroduksikan electric well logging.

Sumatra Selatan

Di Sumatra Selatan, eksplorasi minyak dimotori oleh Dominicus Antonius Josephin Kessler dan Jan Willem Ijzerman. Mereka berdua mendirikan NV Nederlandsche Indische Exploratie Maatschappij (NIEM) pada tahun 1895, untuk mengelola konsesi yang ada di daerah Banyuasin dan Jambi. Seiring dengan bertambah banyaknya jumlah konsesi mereka, maka pada tahun 1897 dibentuk NV Sumatera–Palembang Petroleum Maatschappij (SPPM), yang masih menjadi bagian KNPM.
Selanjutnya dibangunlah kilang mini di daerah Bayung Lencir. Penemuan lainnya, yaitu di daerah Lematang Ilir dan Muara Enim, Sumatra Selatan, untuk selanjutnya kemudian dibentuk NV Muara Enim Petroleum Maatschappij (MEPM). JW Ijzerman juga kemudian membangun kilang yang cukup besar di Plaju, bersamaan dengan pembangunan jaringan pipa yang menghubungkan Muara Enim dengan Kilang Plaju tersebut.

Berdirinya Shell 

Logo Shell

Pada masa itu, terdapat dua perusahaan besar yang berperan sebagai leader dalam penambangan minyak, yakni KNPM dan Shell. KNPM bergerak di bidang eksplorasi, produksi dan pengilangan. Sedangkan Shell, perusahaan raksasa Belanda lainnya, bergerak di bidang usaha transportasi dan pemasaran. Shell, perusahaan yang didirikan oleh Marcus Samuel pada tahun 1897, pada awalnya hanya merupakan perusahaan yang menjual kulit kerang (shell) di kota London. Komoditas pertamanya inilah yg kemudian dijadikan logo perusahaan sampai sekarang.
Kedua perusahaan besar ini kemudian merger pada tahun 1907 menjadi Royal Dutch – Shell Group, yang kemudian dikenal dengan Shell. Di bawah group ini dibentuklah De Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) untuk produksi dan pengilangan dan Anglo Saxon Petroleum Coyuntuk transportasi dan pemasaran.

Indische Mijnwet dan Masuknya Perusahaan Swasta

Terbitnya Indische Mijnwet, undang-undang pertambangan pada tahun 1899 mendorong masuknya perusahaan swasta minyak dunia ke Hindia Belanda (Syeirazi, 2009). Undang-undang ini memang memperbolehkan pihak swasta untuk terlibat di dalam pengusahaan minyak bumi, setelah sebelumnya pemerintah kolonial melarang keterlibatan pihak swasta.
Pada awal abad 20, telah masuk 18 perusahaan swasta asing di Hindia Belanda. Untuk menandingi perusahaan Amerika Serikat setelah berlakunya Indische Mijnwet, pemerintah Belanda mendirikan perusahaan gabungan antara pemerintah dengan BPM, yaitu NV Nederlandsch Indische Aardolie Maatschappij (NIAM). Perusahaan ini yg kemudian berubah jadi Permindo, cikal bakal Pertamina.

Stanvac di Sumatra Selatan

Logo Stanvac

Standard Oil of New Jersey (SONJ), yang merupakan perusahaan swasta pertama, datang ke Hindia Belanda pada tahun 1912. Mereka lalu mendirikan anak perusahaan bernama NV Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM). Tahun 1914, NKPM menemukan ladang Talang Akar di Sumatra Selatan, yang berkembang menjadi ladang minyak terbesar yang ditemukan sebelum Perang Dunia II. Bersama dengan lapangan Pendopo yang ditemukan pada tahun 1921, keduanya merupakan lapangan minyak terbesar di Indonesia pada jaman itu.
Hanya berselang sepuluh tahun, perusahaan itu mampu berproduksi hingga 10 – 20 ribu bopd (barrel oil per day, barrel minyak per hari) dari sumur Talang Akar dan Pendopo. Untuk mengolah minyak tersebut, NKPM membangun kilang di Sungai Gerong pada tahun 1926. Pipa transmisi juga dibangun dari Lapangan Talang Akar dan Pendopo ke kilang Sungai Gerong dan kemudian digunakan bersama pengoperasian kilang mulai Mei 1926 dengan kapasitas awal 3500 bopd.
Tahun 1933 SONJ menyatukan sahamnya dengan NKPM menjadi NV Standard Vacuum Petroleum Maatschappij (SVPM), yang kemudian diubah namanya menjadi NV Stanvac. Perusahaan ini adalah hasil penyatuan produksi dan pengilangan SONJ dengan jaringan pemasaran yang luas kepunyaan Socony Vacuum (Standard of New York, sekarang menjadi Mobil Oil) di seluruh Asia, Australia dan Afrika Timur.
Dengan terbentuknya perusahaan baru ini dan penemuan dari ladang-ladang baru, pemasangan pipa tambahan (looping) baru dilakukan dan kilang minyak Sungai Gerong diperbesar kapasitasnya menjadi 40.000 bopd pada tahun 1936 dan menjadi 46.000 bopd mulai tahun 1940.

Caltex di Riau

Logo Caltex

Pada tahun 1924, Standard Oil of California (Socal), grup Standard Oil yang lainnya, mengirimkan geologisnya ke Hindia Belanda. Socal mendirikan anak perusahaan bernama NPPM (Nederlandsche Pasific Petroleum Maatschappij) pada tahun 1930. Pengeboran pertama mereka lakukan pada tahun 1935 di Blok Sebangga, sekitar 65 km utara Pekan Baru, Riau dan menghasilkan minyak meskipun tidak terlalu besar. Tahun 1936 NPPM diberi konsesi di daerah Rimba, dikenal dengan Rokan Block, Sumatra Tengah, yang sebelumnya ditolak oleh SONJ. Pada tahun yg sama, Socal berpatungan dengan Texaco untuk mengelola sebagai pemilik bersama (joint venture) dengan nama baru, yaitu California Texas Oil Company (Caltex).
Saat Caltex sedang mempersiapkan pengeboran di Sumur Minas di Siak, Riau, balatentara Jepang datang dan menduduki Sumatra. Pengeboran minyak dilanjutkan oleh pihak Jepang dan menghasilkan 800 bopd dari sumur berkedalaman 700m. Setelah Perang Dunia berakhir, para ahli geologi NPPM melakukan pengeboran di Sumur Minas-1. Penemuan inilah yang merupakan cikal bakal penguasaan Caltex (dan kemudian Chevron) terhadap cadangan minyak terbesar di Indonesia saat ini.


Papua (dahulu Nederlands Nieuw Guinea)

Pada 1928 Shell telah mulai melakukan survey di Nederlands Nieuw Guinea (sekarang Papua). Pemerintah kolonial Hindia Belanda menghimbau kepada Shell bersama Stanvac dan Caltex untuk berpatungan mengekplorasi Nieuw Guinea dan membentuk perusahaan patungan NV Nederlansche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM). Setelah mencapai kesepakatan pada tahun 1935, pembagian sahamnya menjadi sebagai berikut: Shell dan Stanvac masing-masing 40%, sedangkan sisanya yang 20% dipegang olehFarEast Pacific Investment Co. (anak perusahaan Caltex). Usaha patungan ini selanjutnya dikelola oleh Shell, karena mereka telah melakukan survey sejak tahun 1928. Pemerintah kolonial waktu itu memberikan hak konsesi khusus selama 25 tahun. Hasilnya pada tahun 1938 berhasil ditemukan lapangan minyak Klamono dan disusul dengan lapangan Wasian, Mogoi, dan Sele.
Namun dalam melakukan eksplorasi di Nieuw Guinea, NNGPM menghadapi banyak kendala, seperti sulitnya transportasi, cuaca selalu hujan hampir setiap hari, tenaga kerja yang harus didatangkan dari luar pulau. Perusahaan pun hanya menemukan ladang yang kecil-kecil, tidak menemukan ladang yang besar sebelum 1942. Mereka terpaksa harus meninggalkan daerah tanpa menghasilkan produksi yang komersil atas penanaman modal jutaan dollar.

Masa PerangKemerdekaan RI (1945 - 1949

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, pejuang-pejuang Indonesia mulai melakukan pengambilalihan sumber-sumber minyak peninggalan Belanda. Dimulai pada penyerahan lapangan minyak eks konsesi BPM di Pangkalan Brandan (Sumatra Utara) dari pihak Jepang kepada pihak Indonesia pada September 1945. Pemerintah RI kemudian membentuk Perusahaan Tambang Minyak Nasional Rakyat Indonesia (PTMNRI) untuk mengelola. Kemudian ladang-ladang minyak ex Stanvac di Talang Akar dan Stanvac juga diambil alih oleh pemerintah RI pada tahun 1946, yang segera membentuk Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI). Karyawan minyak di Cepu mengambil alih kilang dan sumur-sumur di Kawengan dari tangan Jepang, kemudian mendirikan Perusahaan Tambang Minyak Negara (PTMN) pada tahun yg sama. Kilang Wonokromo dan ladang minyak di sekitar Surabaya gagal direbut karena keburu kedatangan pasukan Sekutu, yg diboncengi NICA (Nederlands Indies Civil Administration), pada September 1945.
Belanda melancarkan Agresi Militer I tahun 1947 dan daerah sasaran utamanya adalah ladang-ladang minyak tersebut. Itu sebabnya, oleh Belanda agresi ini diberi sandi "Operatie Produkt" karena tujuannya mengamankan sumber-sumber produksi pengolahan sumber daya alam. Pejuang-pejuang bereaksi dengan membumi hanguskan sumur-sumur dan kilang di Pangkalan Brandan. Sedangkan sumur-sumur minyak di Riau, Jambi dan Sumatra Selatan berhasil direbut tanpa perlawanan berarti, karena komando TRI (Tentara Republik Indonesia) di daerah itu masih lemah.
Ladang-ladang minyak di Sumatra Selatan segera dikembalikan kepada Stanvac dan berhasil mencapai tingkat produksi tertinggi pasca Perang Dunia II pada tahun 1948. Demikian pula dengan ladang-ladang minyak di Riau dan Jambi (Sumatra Tengah) yg dikembalikan kepada Caltex, yang segera memproduksi minyak pada tahun 1949. Ladang minyak Cepu pun demikian, setelah direbut pada Agresi militer I, segera diambil alih pengelolaannya oleh BPM dan PTMN bubar jalan dengan sendirinya, karena pekerjanya diancam dgn todongan senjata apabila tidak mau bekerja untuk BPM. NNGPM segera menggarap ladang minyak Klamono di Kepala Burung Papua dan pada tahun 1948 sudah berhasil memproduksi hingga 4000 bopd.


Pasca KMB 1949 s/d Sistem Kontrak Karya 1967

Logo Pertamina 1961-2006
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia pada KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag, Belanda pada 27 Desember 1949, Pemerintah RIS (Republik Indonesia Serikat, dan kemudian kembali menjadi RI) tetap memberikan hak pengelolaan sumur-sumur minyak kepada pengelola lamanya, seperti BPM, Caltex, Stanvac, Shell dll. Pada tahun 1951PTMN diambil alih oleh pemerintah RI dan diubah namanya menjadi PN Permigan (Perusahaan Minyak dan Gas Negara).
Tahun 1952 ladang minyak Minas yang dikelola Caltex mulai mengekspor minyak ke luar negeri. Tahun 1954 Pemerintah RI mengambil alih PTMRI dan mengubahnya jadi PTMSU (Perusahaan Tambang Minyak Sumatera Utara).
Kolonel dr. Ibnu Sutowo, Direktur Utama PN Permina (1957-1967) & Direktur UtamaPertamina (1967 - 1976)
Pada 30 Oktober 1957, seiring nasionalisasi perusahaan2 asing, KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) Jenderal Abdul Harris Nasution, selaku penguasa perang pusat (Pepera) menugaskan Kolonel dr. Ibnu Sutowo untuk membentuk perusahaan minyak negara. Pda tanggal 10 Desember 1957 terbentuklah Perusahaan Tambang Minyak Negara (PERMINA) berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI no. JA.5/32/11 tertanggal 3 April 1958. Ibnu Sutowo ditunjuk sebagai Direktur Utamanya. Pada 30 Juni 1958, Permina mulai mengekspor minyak mentah untuk pertama kalinya, dan pada bulan Agustus melakukan pengiriman ekspor keduanya. Permina menjalin kerja sama dengan perusahaan minyak Jepang NOSODECO, dimana Permina mendapat pinjaman modal yang dibayarkan dengan minyak mentah. Permina membuka kantor perwakilannya di Tokyo. Tahun 1960, PT Permina berubah status menjadi Perusahaan Negara (atau Badan Usaha Milik Negara, sekarang disingkat BUMN) dgn nama PN Permina.
Tahun 1959 NIAM (Nederlandsche Indische Aardoil Maatschappij) resmi diambilalih pemerintah RI dan diubah namanya menjadi PN Permindo (Perusahaan Minyak Nasional Indonesia). BPM/Shell memulai proyek di Tanjung, Kalimantan Selatan pada tahun yg sama. Tahun 1960 BPM di Indonesia dilikuidasi dan dibentuklah PT Shell Indonesia.
Berdasarkan Undang-undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) No. 44 tahun 1960, tertanggal 26 Oktober 1960, seluruh konsesi minyak di Indonesia harus dikelola oleh kepada negara. Permindo memulai kegiatan komersialnya dalam bentuk perusahaan milik negara, meskipun sebenarnya yg mengelola tetaplah Shell!
Pada tahun 1961 sistem konsesi perusahaan asing dihapuskan diganti dengan sistem kontrak karya. Pemerintah mengambil alih saham di Permindo-Shell, kemudian Permindo dilikuidasi dan dibentuklah PN PERTAMIN (Perusahaan Tambang Minyak Negara). Melalui Peraturan Pemerintah No. 198/1961, perusahaan tersebut resmi menjadi Perusahaan Negara (BUMN).
Tahun 1962 Indonesia resmi bergabung dgn OPEC (Organisation of Petroleum Exporting Countries, organisasi negara-negara pengekspor minyak). Sebagai tindak lanjut pengambilalihan Irian Barat melalui perjanjian New York 1963, pemerintah melalui PN Permina membeli seluruh saham NNGPM pada tahun 1964. Pada tahun yg sama, SPCO diserahkan kepada PN Permina.
Tahun 1965 menjadi momen penting karena menjadi sejarah baru dalam perkembangan industri perminyakan Indonesia dengan dibelinya seluruh kekayaan BPM-Shell Indonesia oleh PN Permina dengan nilai US$ 110 juta. Berdasarkan SK Menteri Pertambangan No. 124/M/MIGAS tertanggal 24 Maret 1966, Permina dibagi menjadi 5 Unit Operasi Produksi Regional dengan kantor pusat di Jakarta.
Pada tahun 1967 mulai diperkenalkan sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC), yang menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah konsesi PN Permina dan PN Pertamin. Perusahaan minyak asing hanya bisa beroperasi sebagai kontraktor dengan sistem bagi hasil produksi minyak, bukan lagi dengan membayar royalty. Sejak saat itulah, eksplorasi besar-besaran dilakukan baik di darat maupun di laut oleh PN Pertamin dan PN Permina bersama dengan kontraktor asing.



PERTAMINA

Berdasarkan PP No. 27/1968 tertanggal 20 Agustus 1968 PN Permina dan PN Pertamin dimerger menjadi satu perusahaan bernama PN PERTAMINA(Perusahaan Tambang Minyak dan Gas Bumi Nasional). Di tahun 1969 ditemukan lapangan minyak lepas pantai yang diberi nama lapangan Arjuna di dekat Pamanukan, Jawa Barat. Tidak lama setelah itu ditemukan lapangan minyak Jatibarang. Dengan bergulirnya UU No. 8 Tahun 1971, sebutan perusahaan menjadi PERTAMINA. Sebutan ini tetap dipakai setelah PERTAMINA berubah status hukumnya menjadi PT PERTAMINA (PERSERO) pada tanggal 17 September 2003 berdasarkan UU Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tertanggal 23 November 2001.