Minyak bumi mulai dikenal oleh bangsa Indonesia mulai abad pertengahan. Orang Aceh menggunakan minyak bumi untuk menyalakan bola api saat memerangi armada Portugis. Perkembangan migas secara modern di Indonesia dimulai saat dilakukan pengeboran pertama pada tahun 1871, yaitu di desa Maja, Majalengka, Jawa Barat, oleh pengusaha belanda bernama Jan Reerink. Akan tetapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkandan akhirnya ditutup.Penemuan sumber minyak yang pertama di Indonesia terjadi pada tahun 1883 yaitu lapangan minyak Telaga Tiga dan Telaga Said di dekat Pangkalan Brandan oleh seorang Belanda bernama A.G. Zeijlker. Penemuan ini kemudian disusul oleh penemuan lain yaitu di Pangkalan Brandan dan Telaga Tunggal. Penemuan lapangan Telaga Said oleh Zeijlker menjadi modal pertama suatu perusahaan minyak yang kini dikenal sebagai Shell. Pada waktu yang bersamaan, juga ditemukan lapangan minyak Ledok di Cepu, Jawa Tengah, Minyak Hitam di dekat Muara Enim, Sumatera Selatan, dan Riam Kiwa di daerah Sanga-Sanga, Kalimantan.Menjelang akhir abad ke 19 terdapat 18 prusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Pada tahun 1902 didirikan perusahaan yang bernama Koninklijke Petroleum Maatschappij yang kemudian denganShell Transport Trading Company melebur menjadi satu bernama The Asiatic Petroleum Company atau Shell Petroleum Company. Pada tahun 1907 berdirilah Shell Group yang terdiri atas B.P.M., yaitu Bataafsche Petroleum Maatschappij dan Anglo Saxon. Pada waktu itu di Jawa timur juga terdapat suatu perusahaan yaitu Dordtsche Petroleum Maatschappij namun kemudian diambil alih oleh B.P.M.Pada tahun 1912, perusahaan minyak Amerika mulai masuk ke Indonesia. Pertama kali dibentuk perusahaan N.V. Standard Vacuum Petroleum Maatschappij atau disingkat SVPM. Perusahaan ini mempunyai cabang di Sumatera Selatan dengan nama N.V.N.K.P.M (Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij) yang sesudah perang kemerdekaan berubah menjadi P.T. Stanvac Indonesia. Perusahaan ini menemukan lapangan Pendopo pada tahun 1921 yang merupakan lapangan terbesar di Indonesia pada jaman itu.Untuk menandingi perusahaan Amerika, pemerintah Belanda mendirikan perusahaan gabungan antara pemerintah dengan B.P.M. yaitu Nederlandsch Indische Aardolie Maatschappij. Dalam perkembangan berikutnya setelah perang dunia ke-2, perusahaan ini berubah menjadi P.T. Permindo dan pada tahun 1968 menjadi P.T. Pertamina.Pada tahun 1920 masuk dua perusahaan Amerika baru yaitu Standard Oil of California dan Texaco. Kemudian, pada tahun 1930 dua perusahaan ini membentuk N.V.N.P.P.M (Nederlandsche Pasific Petroleum Mij) dan menjelma menjadi P.T. Caltex Pasific Indonesia, sekarang P.T. Chevron Pasific Indonesia. Perusahaan ini mengadakan eksplorasi besar-besaran di Sumatera bagian tengah dan pada tahun 1940 menemukan lapangan Sebangga disusul pada tahun berikutnya 1941 menemukan lapangan Duri. Di daerah konsesi perusahaan ini, pada tahun 1944 tentara Jepang menemukan lapangan raksasa Minas yang kemudian dibor kembali oleh Caltex pada tahun 1950.Pada tahun 1935 untuk mengeksplorasi minyak bumi di daerah Irian Jaya dibentuk perusahaan gabungan antara B.P.M., N.P.P.M., dan N.K.P.M. yang bernama N.N.G.P.M. (Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Mij) dengan hak eksplorasi selama 25 tahun. Hasilnya pada tahun 1938 berhasil ditemukan lapangan minyak Klamono dan disusul dengan lapangan Wasian, Mogoi, dan Sele. Namun, karena hasilnya dianggap tidak berarti akhirnya diseraterimakan kepada perusahaan SPCO dan kemudian diambil alih oleh Pertamina tahun 1965.Setelah perang kemerdekaan di era revolusi fisik tahun 1945-1950 terjadi pengambilalihan semua instalasi minyak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pada tahun 1945 didirikan P.T. Minyak Nasional Rakyat yang pada tahun 1954 menjadi perusahaan Tambang Minyak Sumatera Utara. Pada tahun 1957 didirikan P.T. Permina oleh Kolonel Ibnu Sutowo yang kemudian menjadi P.N. Permina pada tahun 1960. Pada tahun 1959, N.I.A.M. menjelma menjadi P.T. Permindo yang kemudian pada tahun 1961 berubah lagi menjadi P.N. Pertamin. Pada waktu itu juga telah berdiri di Jawa Tengah dan Jawa Timur P.T.M.R.I (Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia) yang menjadi P.N. Permigan dan setelah tahun1965 diambil alih oleh P.N. Permina.Pada tahun 1961 sistem konsesi perusahaan asing dihapuskan diganti dengan sistem kontrak karya. Tahun 1964 perusahaan SPCO diserahkan kepada P.M. Permina. Tahun 1965 menjadi momen penting karena menjadi sejarah baru dalam perkembangan industri perminyakan Indonesia dengan dibelinya seluruh kekayaan B.P.M. – Shell Indonesia oleh P.N. Permina. Pada tahun itu diterapkan kontrak bagi hasil (production sharing) yang menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah konsesi P.N. Permina dan P.N. Pertamin. Perusahaan asing hanya bisa bergerak sebagai kontraktor dengan hasil produksi minyak dibagikan bukan lagi membayar royalty.Sejak tahun 1967 eksplorasi besar-besaran dilakukan baik di darat maupun di laut oleh P.N. Pertamin dan P.N. Permina bersama dengan kontraktor asing. Tahun 1968 P.N. Pertamin dan P.N. Permina digabung menjadi P.N. Pertamina dan menjadi satu-satunya perusahaan minyak nasional. Di tahun 1969 ditemukan lapangan minyak lepas pantai yang diberi nama lapangan Arjuna di dekat Pemanukan, Jabar. Tidak lama setelah itu ditemukan lapangan minyak Jatibarang oleh Pertamina. Kini perusahaan minyak kebanggaan kita ini
tengah berbenah diri menuju perusahaan bertaraf internasional.
Salah satu daya tarik negara-negara sahabat melirik Indonesia tak lain karena negara ini memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam, terutama hasil tambang seperti batubara, minyak dan gas bumi. Namun, walau cadangannya tidak melimpah, ketiga komoditas tersebut selalu menjadi incaran. Tak hanya sebagai energi untuk menghidupkan roda perekonomian agar pertumbuhan suatu negara bisa lebih baik tapi itu dapat menjadi alasan strategis untuk menjalin kerjasama antar negara mengingat sumber daya alam itu tidak dapat diperbarui.Tidak semua daerah kekuasaan masing-masing negara memiliki cadangan minyak dan gas bumi (migas). Hal inilah yang mendorong Belanda menjajah Indonesia hingga ratusan tahun karena tidak mau ketinggalan dengan Amerika Serikat (AS) yang mulai beralih dari kayu bakar ke minyak sejak penemuan energi fosil tersebut oleh Kolonel Drake pada 1859 di Titusville, Pennsylvania.
Minyak Bumi
Selang 12 tahun kemudian, usaha Belanda mencari minyak berhasil juga menyusul penemuan oleh Jan Reering yang kemudian mulai melakukan pengeboran di lereng Gunung Ciremai, Cibodas, Jawa Barat.Pengeboran yang dilakukan Reering pun menggunakan model yang sama seperti di Pennsylvania, yaitu menggunakan tenaga lembu. Walaupun 4 sumur telah digali, ternyata tidak mendapatkan hasil yang komersial. Namun demikian, di tempat itu banyak terdapat oil seepages (rengkahan tanah yang mengandung minyak). Maka, dilakukanlah ekplorasi (pencarian) di sekitar oil seepages yang merupakan petunjuk ke arah ditemukannya sumur minyak dangkal sehingga dapat dilakukan pengeboran dengan menggunakan peralatan yang sederhana.Mengetahui sumber energi ini lebih mudah diangkut dibandingkan batubara, 12 tahun kemudian setelah usaha Reering, yaitu 1883, seorang inspektur perkebunan di daerah Langkat, Sumatera Utara, Aeliko Jana Zijlker meneruskan langkah pencarian cairan hitam yang berbau khas itu. Dengan modal yang didatangkan dari negeri Belanda, Zijlker membentuk sebuah perusahaan yang berlokasi tak jauh dari ditemukannya minyak, dikenal dengan Telaga Tunggal. Seperti yang dialami Reering, pengeboran pertamanya tidak mendapatkan hasil yang diharapkan.Namun pengeboran kedua pada 1885 berhasil memberikan nilai komersial. Karena berhasil, mulai bermunculanlah peminat untuk mencari minyak secara besar-besaran di berbagai tempat yang diperkirakan banyak terdapat oil seepages, seperti Surabaya, Jambi, Aceh Timur, Palembang dan Kalimantan Timur. Keberhasilan memperoleh minyak menciptakan usaha kegiatan produksi, pengolahan/pengilangan, serta pemasarannya. Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu membentuk perusahaan minyak Royal Dutch Company (NV. Koninklijke Nederlansche Mij. Tot Exploitatie van Petroleum Bronnen in Nederlandsch Indie).
Gas Bumi
Fisik minyak mudah dikenali dengan jelas, berbeda dengan gas bumi. Pada dasarnya, saat ditemukannya sumur minyak, secara tidak langsung terdapat gas di dalamnya. Karena tidak berwujud dan komposisinya tidak sebanyak minyak, gas bumi yang berasal dari sumur tersebut umumnya dimanfaatkan sebagai energi untuk berbagai kegiatan di sekitar wilayah lapangan produksi minyak itu sendiri (own use). Pada waktu itu, kebutuhan akan gas bumi belum terlalu banyak sehingga nilai keekonomiannya tidak mampu memberikan keuntungan.Selain itu, untuk alasan keamanan karena mudah terbakar, gas yang terperangkap dari pengeboran dan proses pengilangan minyak dibakar melalui cerobong (vent sack) atau dibuang ke atmosfer. Tetapi, kegiatan pembakaran gas tersebut menimbulkan pencemaran lingkungan, dan secara tidak langsung juga membuang potensi sumber daya alam lain yang potensial sebagai energi selain minyak.Komponen gas bumi terpenting adalah metana, propan, butana, pentana dan heksana. Jenisnya pun ada 2, yaitu associated gas (gas bumi yang terdapat bersama-sama minyak di dalam reservoir/sumur dengan jumlah tidak banyak), dan non-associated gas (gas bumi yang di dalam reservoir, tapi tidak mengandung minyak dalam jumlah yang berarti).Kandungan minyak dan gas bumi di setiap lapangan migas berbeda-beda karena komposisi hidrokarbon dan berat yang tidak sejenis. Sumur produksi dapat menghasilkan fluida yang mengandung campuran minyak, gas dan air. Fluida yang dihasilkan dari beberapa sumur akan dikumpulkan ke pusat pengolahan di suatu stasiun pengumpul (gathering station) untuk memisahkan produk minyak, gas bumi dan komponen lainnya yang dapat diolah menjadi produk petrokimia.Peningkatan pemanfaatan gas bumi, selain own use, baru dimulai saat harga minyak melambung tinggi karena terjadi perang Timur Tengah pada 1973. Padahal sebelum perang terjadi, harga minyak hanya seharga US$1.67 per barel. Ketika perang terjadi, harga meroket menjadi US$11.70 per barel, sebagai akibat tindakan boikot negara-negara penghasil minyak yang tergabung dalam Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC) yang sedang berkonflik dengan Israel.Semenjak itu, harga seakan menjadi permainan. Mulai 1979, harga minyak telah mencapai US$15.65 per barel, melonjak lagi menjadi US$29.50 per barel (1980), dan terus melonjak ke US$35 per barel (1981-1982). Walaupun tingginya harga minyak bisa menjadi sumber pendapatan bagi Indonesia, secara teori ekonomi tidaklah demikian. Semakin tinggi harga, tidak ada yang mau membeli minyak.Akhirnya, negara yang biasa beli minyak mulai mencari energi alternatif, yaitu gas. Melihat ada peluang permintaan, Indonesia mulai memproduksi liquefied natural gas (LNG) dan liquefied petroleum gas (LPG). Produksi disesuaikan dengan jumlah kebutuhan, baik untuk dalam negeri maupun tujuan ekspor. Sebelumnya, gas bumi yang dihasilkan dibakar percuma dan banyak sumur gas bumi ditutup karena harganya sangat murah.Indonesia pada saat itu pun dikenal sebagai negara eksportir gas terbesar karena kebutuhan untuk dalam negeri dianggap mencukupi sehingga kelebihannya dapat dijual untuk kepentingan pemasukan negara dan menambah cadangan devisa. (anovianti muharti)Industri perminyakan di Hindia Belanda (dan kemudian di Indonesia setelah tahun 1945) diawali dengan laporan penemuan minyak bumi oleh Corps of the Mining Engineers, institusi milik Belanda, pada dekade 1850-an, antara lain di Karawang (1850), Semarang (1853), KalimantanBarat (1857), Palembang (1858), Rembang dan Bojonegoro (1858),Surabaya dan Lamongan (1858). Temuan minyak terus berlanjut
pada dekade berikutnya, antara lain di daerah Demak (1862), Muara Enim (1864), Purbalingga (1864) danMadura (1866). Cornelis de Groot, yang saat itu menjabat sebagai Head of the Department
of Mines, pada tahun 1864 melakukan tinjauan hasil eksplorasi dan melaporkan adanya area yang
prospektif. Laporannya itulah yang dianggap sebagai milestone sejarah perminyakan Indonesia.
Selanjutnya, pada 1871 seorang pedagang Belanda Jan Reerink
menemukan adanya rembesan minyak di daerah Majalengka, daerah di lereng Gunung Ciremai, sebelah barat daya kota Cirebon, Jawa Barat. Minyak tersebut merembes dari lapisan batuan tersier yang tersingkap ke
permukaan. Berdasarkan temuan itu, ia lalu melakukan pengeboran minyak pertama
di Indonesia dengan menggunakan pompa yg digerakkan oleh sapi. Total sumur yang
dibor sebanyak empat sumur, dan menghasilkan 6000 liter minyak bumi yang
merupakan produksi minyak bumi pertama di Indonesia.
Pengeboran ini berlangsung hanya
berselang dua belas tahun setelah pengeboran minyak pertama di dunia oleh
Kolonel Edwin L Drake dan William Smith de Titusville (1859), di negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat. Dengan demikian,
pengelolaan minyak bumi di Hindia Belanda termasuk pionir (tertua) di dunia. Namun, sektor
pertambangan, khususnya minyak bumi, belum menjadi andalan pendapatan
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Hal ini bisa dilihat dari adanya Indische Mijnwet, produk undang-undang pertambangan pertama, yang baru dibuat pada tahun 1899.
Kemudian Reerink juga melakukan
pengeboran di Panais, Majalengka, Cipinang dan Palimanan, dengan mengunakan
pompa bertenaga uap yang didatangkan dari Canada, menghasilkan minyak yang sangat kental yg disertai dengan air panas yang
memancur setinggi 15 meter. Pada 1876 permohonan pinjaman modalnya ditolak NV Nederlandsche
Handel Maatschappij (NHM), sehingga akhirnya ia memutuskan menutup sumur-sumur
tersebut dan kembali ke usaha dagang sebelumnya.
Sumatra Timur
Pada 1880 Aeilko Jans Zijker, seorang petani tembakau yang pindah dari Jawa ke Sumatra Timur, menemukan minyak yang merembes ke permukaan di Langkat. Kemudian sampel minyak tersebut dibawa ke Batavia untuk dianalisis, dan dari hasil
penyulingan minyak tersebut menghasilkan kadar minyak sebesar 59%. Pada 1882 Zijker mencari dana ke Belanda untuk
melanjutkan eksplorasi minyak tersebut. Kemudian pada 1883, Zijker memperoleh konsesi di daerah Telaga Said, Langkat seluas 500
bahu (3,5 km persegi) dari Sultan Langkat. Lapangan itu ia temukan pada saat
inspeksi dan menemukan genangan yang tercampuri minyak bumi. Setahun kemudian, Zijker mulai mengebor sumur pertama, ternyata gagal.
Sumur kedua, dinamakan Telaga Tunggal, akhirnya berhasil
menemukan minyak di kedalaman 22 m pada 1884, dgn sumber utamanya
di kedalaman 120 m.
Tahun 1890 Zijker mengalihkan konsesinya ke NV Koninklijke
Nederlandsche Petroleum Maatschappij (KNPM). Zijker meninggal mendadak pada
Desember 1890 di Singapore. Kepemimpinan perusahaan digantikan oleh De Gelder yang berkantor di Pangkalan Brandan. Fasilitas lainnya dipasang di Pangkalan Susu. Kilang di Pangkalan Brandan
dibangun pada 1892, dan mulai
berproduksi dari hasil minyak ladang Telaga Said. Enam tahun setelahnya, tahun 1898, tangki-tangki penimbunan dan fasilitas pelabuhan dibangun di Pangkalan
Susu. Dengan demikian, minyak mentah yang dihasilkan dapat diolah terlebih
dahulu sebelum dikapalkan. Pelabuhan Pangkalan Susu merupakan pelabuhan ekspor
minyak pertama di Indonesia.
Jawa Timur
Sebelumnya, di Belanda sendiri telah dibentuk NV Doordsche Petroleum Maatschappij (DPM) pada tahun 1887, oleh Adriaan Stoop, untuk mengembangkan lapangan minyak diSurabaya, Jawa Timur. Stoop memperoleh konsesi seluas 152,5 km persegi. Lapangan Kruka merupakan lapangan tertua di daerah ini. Selanjutnya, dari lapangan Djabakota berhasil diproduksikan sekitar 8000-an liter minyak bumi. Stoop kemudian membangun kilang Wonokromo pada tahun 1890 – 1891 untuk mengolah minyak mentah yang dihasilkan. Kilang ini merupakan yang tertua di Hindia Belanda. Pada tahun 1893, dimulailah produksi pelumas (oli, lubricant) di kilang ini. Sejak itu, banyak berkembang konsesi-konsesi di Jawa, antara lain di daerah Gunung Kendeng, Bojonegoro, Rembang, Jepon dan lain-lain. Totalnya sekitar 30 lapangan. Sejalan dengan pengembangan lapangan-lapangan itu, didirikan pula kilang di Cepu pada tahun 1894. Tahun 1899, Jan Stoop mengemudikan "mobil yang mengunakan bahan bakar gasolin" dari Surabaya ke Cepu.
Kalimantan Timur
Di Kalimantan, pengelolaan minyak bumi dimulai ketika Sultan Kutai memberikan konsesi kepada Jacobus Hubertus Menten pada tahun 1888. Pada tahun 1893, Lapangan Sanga-Sanga mulai berproduksi. Selanjutnya Shell membangun kilang Balikpapan pada tahun 1894. Produksi komersialnya sendiri baru dimulai pada tahun 1897. Pengapalan minyak pertama terjadi pada tahun 1898 oleh kapal tanker Shell ke Singapura.
Sumatra Selatan
Di Sumatra Selatan, eksplorasi minyak dimotori oleh Dominicus Antonius
Josephin Kessler dan Jan Willem Ijzerman. Mereka berdua mendirikan NV Nederlandsche Indische Exploratie
Maatschappij (NIEM) pada tahun 1895, untuk mengelola
konsesi yang ada di daerah Banyuasin dan Jambi. Seiring dengan bertambah
banyaknya jumlah konsesi mereka, maka pada tahun 1897 dibentuk NV Sumatera–Palembang Petroleum
Maatschappij (SPPM), yang masih menjadi bagian KNPM.
Selanjutnya dibangunlah kilang mini di
daerah Bayung Lencir. Penemuan lainnya, yaitu di daerah Lematang Ilir dan Muara Enim, Sumatra Selatan,
untuk selanjutnya kemudian dibentuk NV Muara Enim
Petroleum Maatschappij (MEPM). JW Ijzerman juga kemudian membangun kilang yang cukup besar di Plaju, bersamaan dengan pembangunan jaringan pipa yang menghubungkan Muara Enim
dengan Kilang Plaju tersebut.
Berdirinya Shell
Logo Shell |
Pada masa itu, terdapat dua perusahaan
besar yang berperan sebagai leader dalam penambangan
minyak, yakni KNPM dan Shell. KNPM bergerak di bidang eksplorasi,
produksi dan pengilangan. Sedangkan Shell, perusahaan raksasa Belanda lainnya,
bergerak di bidang usaha transportasi dan pemasaran. Shell, perusahaan yang
didirikan oleh Marcus Samuel pada tahun 1897, pada awalnya hanya
merupakan perusahaan yang menjual kulit kerang (shell) di kota London. Komoditas pertamanya inilah yg kemudian dijadikan logo perusahaan sampai
sekarang.
Kedua perusahaan besar ini kemudian merger pada tahun 1907 menjadi Royal Dutch – Shell Group, yang kemudian dikenal dengan Shell. Di
bawah group ini dibentuklah De Bataafsche
Petroleum Maatschappij (BPM) untuk produksi dan pengilangan dan Anglo Saxon Petroleum
Coyuntuk transportasi dan pemasaran.
Indische Mijnwet dan Masuknya Perusahaan
Swasta
Terbitnya Indische Mijnwet, undang-undang
pertambangan pada tahun 1899 mendorong masuknya perusahaan swasta minyak dunia
ke Hindia Belanda (Syeirazi, 2009). Undang-undang ini memang memperbolehkan
pihak swasta untuk terlibat di dalam pengusahaan minyak bumi, setelah
sebelumnya pemerintah kolonial melarang keterlibatan pihak swasta.
Pada awal abad 20, telah masuk 18 perusahaan swasta asing di Hindia Belanda. Untuk
menandingi perusahaan Amerika Serikat setelah berlakunya Indische Mijnwet,
pemerintah Belanda mendirikan perusahaan gabungan antara pemerintah dengan BPM,
yaitu NV Nederlandsch Indische Aardolie
Maatschappij (NIAM). Perusahaan ini yg kemudian berubah jadi Permindo, cikal bakal Pertamina.
Stanvac di Sumatra Selatan
Logo Stanvac |
Standard Oil of New Jersey (SONJ), yang merupakan perusahaan swasta pertama, datang ke Hindia Belanda
pada tahun 1912. Mereka lalu
mendirikan anak perusahaan bernama NV Nederlandsche
Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM). Tahun 1914, NKPM menemukan ladang Talang Akar di Sumatra Selatan, yang berkembang menjadi ladang minyak terbesar yang ditemukan sebelum Perang Dunia II. Bersama dengan
lapangan Pendopo yang ditemukan pada tahun 1921, keduanya merupakan lapangan minyak terbesar di Indonesia pada jaman itu.
Hanya berselang sepuluh tahun,
perusahaan itu mampu berproduksi hingga 10 – 20 ribu bopd (barrel oil per day, barrel
minyak per hari) dari sumur Talang Akar dan Pendopo. Untuk mengolah minyak
tersebut, NKPM membangun kilang di Sungai Gerong pada tahun 1926. Pipa transmisi juga
dibangun dari Lapangan Talang Akar dan Pendopo ke kilang Sungai Gerong dan
kemudian digunakan bersama pengoperasian kilang mulai Mei 1926 dengan kapasitas
awal 3500 bopd.
Tahun 1933 SONJ menyatukan sahamnya dengan NKPM menjadi NV Standard Vacuum
Petroleum Maatschappij (SVPM), yang kemudian diubah namanya menjadi NV Stanvac. Perusahaan ini adalah hasil penyatuan produksi dan pengilangan SONJ
dengan jaringan pemasaran yang luas kepunyaan Socony Vacuum (Standard of New York, sekarang menjadi Mobil Oil) di seluruh Asia,
Australia dan Afrika Timur.
Dengan terbentuknya perusahaan baru ini
dan penemuan dari ladang-ladang baru, pemasangan pipa tambahan (looping)
baru dilakukan dan kilang minyak Sungai Gerong diperbesar kapasitasnya menjadi
40.000 bopd pada tahun 1936 dan menjadi 46.000 bopd mulai tahun 1940.
Caltex di Riau
Logo Caltex |
Pada tahun 1924, Standard Oil of California (Socal), grup Standard Oil yang lainnya, mengirimkan geologisnya ke Hindia
Belanda. Socal mendirikan anak perusahaan bernama NPPM (Nederlandsche
Pasific Petroleum Maatschappij) pada tahun 1930. Pengeboran pertama mereka lakukan pada tahun 1935 di Blok Sebangga, sekitar 65 km utara Pekan Baru, Riau dan menghasilkan minyak meskipun tidak
terlalu besar. Tahun 1936 NPPM diberi konsesi di daerah Rimba, dikenal dengan Rokan Block, Sumatra Tengah, yang sebelumnya ditolak oleh SONJ. Pada tahun yg sama, Socal berpatungan
dengan Texaco untuk mengelola
sebagai pemilik bersama (joint venture) dengan nama baru, yaitu California Texas Oil Company (Caltex).
Saat Caltex sedang mempersiapkan
pengeboran di Sumur Minas di Siak, Riau, balatentara Jepang datang dan menduduki Sumatra. Pengeboran minyak dilanjutkan oleh pihak Jepang dan menghasilkan 800 bopd
dari sumur berkedalaman 700m. Setelah Perang Dunia berakhir, para ahli geologi
NPPM melakukan pengeboran di Sumur Minas-1. Penemuan inilah yang merupakan
cikal bakal penguasaan Caltex (dan kemudian Chevron) terhadap cadangan minyak terbesar di Indonesia saat ini.
Papua (dahulu Nederlands Nieuw Guinea)
Pada 1928 Shell telah mulai melakukan survey di Nederlands Nieuw Guinea (sekarang Papua). Pemerintah kolonial
Hindia Belanda menghimbau kepada Shell bersama Stanvac dan Caltex untuk
berpatungan mengekplorasi Nieuw Guinea dan membentuk perusahaan patungan NV Nederlansche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM). Setelah mencapai
kesepakatan pada tahun 1935, pembagian sahamnya menjadi sebagai berikut: Shell
dan Stanvac masing-masing 40%, sedangkan sisanya yang 20% dipegang olehFarEast
Pacific Investment Co. (anak perusahaan Caltex). Usaha patungan
ini selanjutnya dikelola oleh Shell, karena mereka telah melakukan survey sejak
tahun 1928. Pemerintah kolonial
waktu itu memberikan hak konsesi khusus selama 25 tahun. Hasilnya pada tahun 1938 berhasil ditemukan lapangan minyak Klamono dan disusul dengan lapangan Wasian, Mogoi, dan Sele.
Namun dalam melakukan eksplorasi di
Nieuw Guinea, NNGPM menghadapi banyak kendala, seperti sulitnya transportasi,
cuaca selalu hujan hampir setiap hari, tenaga kerja yang harus didatangkan dari
luar pulau. Perusahaan pun hanya menemukan ladang yang kecil-kecil, tidak
menemukan ladang yang besar sebelum 1942. Mereka terpaksa
harus meninggalkan daerah tanpa menghasilkan produksi yang komersil atas
penanaman modal jutaan dollar.
Masa PerangKemerdekaan RI (1945 - 1949
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, pejuang-pejuang Indonesia mulai melakukan pengambilalihan sumber-sumber
minyak peninggalan Belanda. Dimulai pada penyerahan lapangan minyak eks konsesi BPM di Pangkalan Brandan (Sumatra Utara) dari pihak Jepang kepada pihak Indonesia pada September 1945. Pemerintah
RI kemudian membentuk Perusahaan Tambang Minyak Nasional
Rakyat Indonesia (PTMNRI) untuk mengelola. Kemudian
ladang-ladang minyak ex Stanvac di Talang Akar dan Stanvac juga diambil alih
oleh pemerintah RI pada tahun 1946, yang segera
membentuk Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI). Karyawan minyak di Cepu mengambil alih kilang dan sumur-sumur di Kawengan dari tangan Jepang, kemudian mendirikan Perusahaan Tambang
Minyak Negara (PTMN) pada tahun yg sama. Kilang Wonokromo dan ladang minyak di sekitar
Surabaya gagal direbut karena keburu kedatangan pasukan Sekutu, yg diboncengi NICA (Nederlands Indies Civil Administration), pada September 1945.
Belanda melancarkan Agresi Militer I tahun 1947 dan daerah sasaran utamanya adalah ladang-ladang minyak tersebut. Itu
sebabnya, oleh Belanda agresi ini diberi sandi "Operatie Produkt"
karena tujuannya mengamankan sumber-sumber produksi pengolahan sumber daya
alam. Pejuang-pejuang bereaksi dengan membumi hanguskan sumur-sumur dan kilang
di Pangkalan Brandan. Sedangkan sumur-sumur minyak di Riau, Jambi dan Sumatra Selatan berhasil direbut tanpa perlawanan
berarti, karena komando TRI (Tentara Republik Indonesia) di daerah itu masih
lemah.
Ladang-ladang minyak di Sumatra Selatan
segera dikembalikan kepada Stanvac dan berhasil mencapai tingkat produksi
tertinggi pasca Perang Dunia II pada tahun 1948. Demikian pula dengan
ladang-ladang minyak di Riau dan Jambi (Sumatra Tengah) yg dikembalikan kepada
Caltex, yang segera memproduksi minyak pada tahun 1949. Ladang minyak Cepu
pun demikian, setelah direbut pada Agresi militer I, segera diambil alih
pengelolaannya oleh BPM dan PTMN bubar jalan dengan sendirinya, karena
pekerjanya diancam dgn todongan senjata apabila tidak mau bekerja untuk BPM.
NNGPM segera menggarap ladang minyak Klamono di Kepala Burung Papua dan pada tahun 1948 sudah berhasil memproduksi hingga 4000 bopd.
Pasca KMB 1949
s/d Sistem Kontrak Karya 1967
Logo Pertamina 1961-2006 |