My Galery

WELCOME MY BLOGER . vickybabel10.blogspot.com. DRILLING. RECORDING. HSE. TOPOGRAFI. FREELOADING. CLEARING / BRIDGING. SEISMIC SURVEY ACQUISITION

Thursday, October 9, 2014

Perkembangan Tata Kelola Migas di Indonesia (1900-2012)

Perkembangan Tata Kelola dan Tantangan serta Strategi Eksplorasi Migas di Indonesia
Tata kelola MIGAS akan berubah besar dalam beberapa waktu dekat ini pasca pembubaran BPMIGAS. 

Sejarah Eksplorasi Migas di Indonesia

Perminyakan Sebelum Kemerdekaan.

Uraian dibawah ini dikumpulkan dari berbagai sumber terutama di internet yang sumber asalnya tidak diketahui serta beberapa buku bacaan dan diskusi di mailist IAGI-net. Untuk perkembangan yuridis telah disusun oleh BPK terlampir sebagai addendum tulisan ini.
Pemanfaatan dan penggunaan minyak bumi dimulai oleh bangsa Indonesia sejak abad pertengahan. Menurut sejarah, orang Aceh menggunakan minyak bumi untuk menyalakan bola api saat memerangi armada Portugis.
Selama ini yang lebih dikenal sebagai awal eksplorasi atau pencarian migas dilakukan adalah pengeboran sumur Telaga tunggal oleh Zijker, namun penelitian yang dilakukan oleh salah satu anggota IAGI (Awang HS) menemukan bahwa usaha pengeboran pertama kali sebenarnya sudah dilakukan oleh Jan Reerink, tahun 1857.
Gambar.1 Usaha eksplorasi minyak di Indonesia dimulai menjelang abad ke20 di Jawa dan di Sumatera Utara. Disusul kemudian di Papua.
Jan Reerink adalah seorang anak laki-laki saudagar penggilingan beras pada zaman Belanda di Indonesia pada paruh kedua abad ke-19. Reerink ditugaskan ayahnya menjaga sebuah toko kelontong di Cirebon. Tetapi, Reerink selalu melamunkan penemuan minyak seperti yang dilakukan Kolonel Drake di Pennsylvania  pada tahun 1857. Akhirnya, sebuah berita ia terima bahwa ada rembesan minyak keluar dari lereng barat Gunung Ciremai di kawasan Desa Cibodas, Majalengka. Reerink berketetapan hati akan membor rembesan minyak itu.
Awal sejarah perkembangan eksplorasi dan eksploitas migas secara modern di Indonesia ditandai saat dilakukan pengeboran pertama pada tahun 1871 ini, yaitu sumur Madja-1 di desa Maja, Majalengka, Jawa Barat, oleh pengusaha belanda bernama Jan Reerink diatas. Akan tetapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan dan akhirnya sumur pengeborannya ditutup.
Akan halnya Telaga Tunggal, tokoh yang terkenal adalah Jan Zijlker (nama Jan adalah nama “pasaran” orang Belanda). Tahun 1880, ia ditugaskan atasannya mengunjungi sebuah perkebunan tembakau di Sumatra Utara. Jan Zijlker adalah manager of the East Sumatra Tobacco Company. Di sana, ia melihat penduduk setempat (Langkat) menggunakan obor dengan suatu zat untuk membuatnya tahan lama menyala. Zijlker mengenal zat itu sebagai minyak tanah
Penemuan sumber minyak dengan pengeboran moderen yang pertama di Indonesia ini yang akhirnya lebih dikenal sebagai awal eksplorasi yang terjadi pada tahun 1883 yaitu diketemukannya lapangan minyak Telaga Tiga dan Telaga Said di dekat Pangkalan Brandan oleh seorang Belanda bernama A.G. Zeijlker.
Gambar 2. Sejarah perkembangan yuridis (aturan) tentang pengelolaan migas di Indonesia sejak awal 1900 hingga 2011.
Penemuan-penemuan selanjutnya juga dilakukan dengan pengeboran sumur ini kemudian disusul oleh penemuan lain yaitu di Pangkalan Brandan dan Telaga Tunggal. Penemuan lapangan Telaga Said oleh Zeijlker menjadi modal pertama suatu perusahaan minyak yang kini dikenal sebagai Shell. Pada waktu yang bersamaan, juga ditemukan lapangan minyak Ledok di Cepu, Jawa Tengah, Minyak Hitam di dekat Muara Enim, Sumatera Selatan, dan Riam Kiwa di daerah Sanga-Sanga, Kalimantan.
Menjelang akhir abad ke 19 terdapat 18 prusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Pada tahun 1902 didirikan perusahaan yang bernama Koninklijke Petroleum Maatschappij yang kemudian dengan Shell Transport Trading Company melebur menjadi satu bernama The Asiatic Petroleum Company atau Shell Petroleum Company. Pada tahun 1907 berdirilah Shell Group yang terdiri atas B.P.M., yaitu Bataafsche Petroleum Maatschappij dan Anglo Saxon. Pada waktu itu di Jawa timur juga terdapat suatu perusahaan yaitu Dordtsche Petroleum Maatschappij namun kemudian diambil alih oleh B.P.M.
Awal masuknya Amerika dalam industri Migas di Indonesia.
Pada tahun 1912, perusahaan minyak Amerika mulai masuk ke Indonesia. Pertama kali dibentuk perusahaan N.V. Standard Vacuum Petroleum Maatschappij atau disingkat SVPM. Perusahaan ini mempunyai cabang di Sumatera Selatan dengan nama N.V.N.K.P.M (Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij) yang sesudah perang kemerdekaan berubah menjadi P.T. Stanvac Indonesia. Perusahaan ini menemukan lapangan Pendopo pada tahun 1921 yang merupakan lapangan terbesar di Indonesia pada jaman itu.
Gambar 3. Masuknya “investor” ke Indonesia dimulai sejak terbentuknya perushaan migas Belanda yang disusul oleh perusahan berasal dari Amerika sekitar 1920-1940.
Untuk menandingi perusahaan Amerika, pemerintah Belanda mendirikan perusahaan gabungan antara pemerintah dengan B.P.M. yaitu Nederlandsch Indische Aardolie Maatschappij. Dalam perkembangan berikutnya setelah perang dunia ke-2, perusahaan ini berubah menjadi P.T. Permindo dan pada tahun 1968 menjadi P.T. Pertamina.
Pada awalnya Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan pembedaan antara Shell dengan perusahaan lain. Pada tahun 1920 masuk dua perusahaan Amerika baru yaitu Standard Oil of California dan Texaco. Pada tahun 1920 ini di Amerika diundangkan “General Lisencing Act” yang mengusulkan untuk non discriminasi.
Kemudian, pada tahun 1930 dua perusahaan ini membentuk N.V.N.P.P.M (Nederlandsche Pasific Petroleum Mij) dan menjelma menjadi P.T. Caltex Pasific Indonesia, sekarang P.T. Chevron Pasific Indonesia. Perusahaan ini mengadakan eksplorasi besar-besaran di Sumatera bagian tengah dan pada tahun 1940 menemukan lapangan Sebangga disusul pada tahun berikutnya 1941 menemukan lapangan Duri. Di daerah konsesi perusahaan ini, pada tahun 1944 tentara Jepang menemukan lapangan raksasa Minas yang kemudian dibor kembali oleh Caltex pada tahun 1950.
Pada tahun 1935 untuk mengeksplorasi minyak bumi di daerah Irian Jaya dibentuk perusahaan gabungan antara B.P.M., N.P.P.M., dan N.K.P.M. yang bernama N.N.G.P.M. (Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Mij) dengan hak eksplorasi selama 25 tahun. Hasilnya pada tahun 1938 berhasil ditemukan lapangan minyak Klamono dan disusul dengan lapangan Wasian, Mogoi, dan Sele. Namun, karena hasilnya dianggap tidak berarti akhirnya diseraterimakan kepada perusahaan SPCO dan kemudian diambil alih oleh Pertamina tahun 1965.
Gambar 4. Pasca PD II dan kemerdekaan, mulai munculnya perusahaan lokal dan dibentuknya PERMINA sebagai perusahaan nasional yang pertama. Merupakan cikal bakal PERTAMINA.
Setelah perang kemerdekaan di era revolusi fisik tahun 1945-1950 terjadi pengambilalihan semua instalasi minyak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pada tahun 1945 didirikan P.T. Minyak Nasional Rakyat yang pada tahun 1954 menjadi perusahaan Tambang Minyak Sumatera Utara (PT MTMSU). Perusahaan ini bersifat lokal. Operasinya belum secara nasional. Pada tahun 1957 didirikan P.T. Permina oleh Kolonel Ibnu Sutowo yang kemudian menjadi P.N. Permina pada tahun 1960. Pada tahun 1959, N.I.A.M. menjelma menjadi P.T. Permindo yang kemudian pada tahun 1961 berubah lagi menjadi P.N. Pertamin. Pada waktu itu juga telah berdiri di Jawa Tengah dan Jawa Timur P.T.M.R.I (Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia) yang menjadi P.N. Permigan dan setelah tahun1965 diambil alih oleh P.N. Permina.
Pada tahun 1961 sistem konsesi perusahaan asing dihapuskan diganti dengan sistem kontrak karya. Tahun 1964 perusahaan SPCO diserahkan kepada P.M. Permina. Tahun 1965 menjadi momen penting karena menjadi sejarah baru dalam perkembangan industri perminyakan Indonesia dengan dibelinya seluruh kekayaan B.P.M. – Shell Indonesia oleh P.N. Permina. Pada tahun itu diterapkan kontrak bagi hasil (production sharing) yang menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah konsesi P.N. Permina dan P.N. Pertamin. Perusahaan asing hanya bisa bergerak sebagai kontraktor dengan hasil produksi minyak dibagikan bukan lagi membayar royalty.
Gambar 5. Jeda antara saat ditemukan (discovery) hingga puncak produksi dicapai dalam 20-30 tahun. Saat ini sekitar diperlukan waktu 10 hingga 15 tahun utk memproduksikan lapangan baru.
Tahun 1960 anjungan pengeboran (Jack-up Rig) mulai beroperasi secara massal. Dan sSejak tahun 1967 eksplorasi besar-besaran juga dilakukan di Indonesia baik di darat maupun di laut oleh P.N. Pertamin dan P.N. Permina bersama dengan kontraktor asing. Tahun 1968 P.N. Pertamin dan P.N. Permina digabung menjadi P.N. Pertamina dan menjadi satu-satunya perusahaan minyak nasional. Di tahun 1969 ditemukan lapangan minyak lepas pantai yang diberi nama lapangan Arjuna di dekat Pemanukan, Jabar. Tidak lama setelah itu ditemukan lapangan minyak Jatibarang oleh Pertamina. Kini perusahaan minyak PERTAMINA ini tengah berbenah diri menuju perusahaan bertaraf internasional.
Pertumbuhan dan pengembangan lapangan migas di Indonesia mencapai puncaknya ketika produksi minyak Indonesia mencapai diatas satu setengah juta barel perhari yang dicapai pada tahun 1977 (gambar 5).
Arun LNG sebagai awal pemicu produksi Gas di Indonesia.
Produksi gas mulai menggeliat ketika gas mulai diperdagangkan dan mulai dipergunakan sebagai energi. Pada tahun 1972 ditemukan sumber gas alam lepas pantai di ladang North Sumatra Offshore (NSO) yang terletak di Selat Malaka pada jarak sekitar 107,6 km dari kilang PT Arun di Blang Lancang. Selanjutnya pada tahun 1998 dilakukan pembangunan proyek NSO “A” yang diliputi unit pengolahan gas untuk fasilitas lepas pantai (offshore) dan di PT Arun. Fasilitas ini dibangun untuk mengolah 450 MMSCFD gas alam dari lepas pantai sebagai tambahan bahan baku gas alam dari ladang arun di Lhoksukon yang semakin berkurang.
Tanggal 16 Maret 1974, PT Arun didirikan sebagai perusahaan operator. Perusahaan ini baru diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 19 September 1978 setelah berhasil mengekspor kondensat pertama ke Jepang (14 Oktober 1977).
Produksi gas Indonesia terus meningkat hingga tahun 2000 ini dan masih menunjukkan produksi yang terus meningkat setelah gas dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri dengan pemipaan (pipe gas).
Penemuan lapangan gas terbesar di Indonesia diketemukan di Laut Natuna di Lapangan D-Alpha. Lapangan ini memiliki kandungan gas lebih dari 200 TCF, namun hampir 70% merupakan CO2. Total hydrocarbon (combustible) gas sekitar 40 TCF. Karena banyaknya porsi kandungan CO2 ini menjadikan pengembangan lapangan ini terus tertunda hingga saat ini.
Penemuan lapangan-lapangan minyak semakin sulit dan gas di Indonesia ini membuat pengelolaan migas dengan PSC (Production Sharing Contract) ini harus selalu dikembangkan.
Sistem bagi hasil ini sebenarnya sudah dikenalkan pada tahun 1951, namun sistem PSC modern memang dimulai pada tahun 1966 setelah 2 tahun negosiasi antara PERMINA dengan IIAPCO untuk WK ONWJ. Disebut sebagai PSC modern karena pokok-pokok kontrak tersebut hingga saat ini masih dipakai.
Sedangkan kalau dilihat perkembangann PSC dengan digabungkan UU-nya maka:
PSC Generasi pertama (1960 – 1976):
  • Produksi minyakd an gas bumi setiap tahun dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
    • 40% pertama disebut sebagai cost oil yang dialokasikan untuk pengembalian biaya eksplorasi dan eksploitasi. (Ceiling Cost Recovery)
    • 60% sisanya disebut sebagai profit oil atau equity oilyang dibagi:
      • 65% untuk PERMINA dan 35% untuk Kontraktor untuk produksi 75 ribu BOPD
      • 67.5% % Pertamina, 32 % % Kontraktor untuk produksi antara 75.000 sid 200.000 per hari:
      • 70 % Pertamina, 30 % Kontraktor untuk produksi di atas 200.000 barrel per hari.
  • Jangka Waktu eksplorasi selama 6 Tahun, dan dapat diperpanjang 2 kali (masing-masing 2 tahun)
  • Pajak Sebesar 56% dan tidak dibedakan antara pajak coorporate dan dividen.
  • Komersialitas dibatasi dengan minimum pendapatan negara adalah 49% dari pendapatan kotor dan ditentukan oleh Pertamina dan Kontraktor.
  • DMO sebesar 25% dari milik kontraktor dengan pembayaran sebesar US$0.2/bbl.
PSC Generasi kedua (1976 – 1988):
Dalam usahanya pemerintah meningkatkan keuntungan, pemerintah berusaha untuk mengganti model yang sebelumnya memberikan dua level bagi hasil dihapuskan dan menjadi satu bagi hasil sebesar 85:15 (70:30 untuk gas) bagi Pertamina. Perkecualian untuk Rokan PSC di mana bagi hasilnya 88:12 untuk Pertamina.
Penerimaan Negara dibagi dalam dua kelompok yaitu:
  • Penerimaan Negara berupa Pajak Perseroan dan Dividen termaksud dalam peraturan perpajakan yang berlaku pada saat penandatanganan perjanjian
  • Penerimaan Negara diluar pajak-pajak tersebut dalam butir 1 di atas, termasuk bagian produksi yang diserahkan kepada Negara sebagai pemilik kuasa atas sumber daya minyak dan gas bumi, kewajiban kontraktor menyerahkan sebagian dari produksi yang diterimanya untuk kebutuhan dalam negeri, bea masuk, iura pembanguna daerah (PBB), bonus, dan lain-lain.
  • Pajak sebesar 56% yang terdiri dari 45% pajak Coorporate dan 11% pajak Dividen.
  • Limit cost recovery yang sebelumnya 40% dihapuskan, sehingga Kontraktor dapat mendapatkan kembali   maksimum 100% dari revenue untuk penggantian biaya dan didasarkan pada Generally Accepted Acounting principle (GAAP).
  • Selisih antara Pendapatan Kotor per tahun dengan Cost Recovery, Kemudian dibagi antara Pertamina dan Kontraktor masing masing sebesar 65.91% : 34.09% (minyak) 31.82% : 68.18% (gas). Bagian Kontraktor akan dikenakan pajak total sebesar 56% (terdiri dari 45% pajak pendapatan dan 20% pajak dividen), dengan demikian pembagian bersih setelah pajak adalah : 85% : 15% (minyak) dan 70% : 30% (gas).
  • Pajak turun dari 56% menjadi 48%,  maka untuk mempertahankan pembagian (share) diatas, pembagian produksi sebelum kena pajak diubah menjadi : 71.15% : 28.85% (minyak) dan 42.31% : 57.69% (gas).
  • Untuk lapangan baru, Kontraktor diberikan kredit investasi sebesar 20% dari pengeluaran kapital untuk fasilitas produksi. dan diberikan DMO Holiday selama 5 tahun.
  • DMO sebesar 25% dari milik kontraktor dengan pembayaran sebesar US$0.2/bbl.
  • Jangka Waktu Eksplorasi selama 6 Tahun, dan tidak dapat diperpanjang (dalam beberapa kontrak dapat diperpanjang satu kali selama 2 tahun).
  • Komersialitas dibatasi dengan minimum pendapatan negara adalah 49% dari pendapatan kotor dan ditentukan oleh Pertamina dan Kontraktor
PSC Generasi ketiga (1988 – 1993):
Pada tahun 1988 dan 1989, fiscal term yang telah direvisi tersebut diperkenalkan sebagai model PSC baru. Perubahan penting dalam model PSC tersebut adalah diberlakukannya FTP, kenaikan besaran DMO fee, dan perbaikan terms untuk proyek-proyek marginal, frontier, deepwater dan reservoir pre-tersier . Pada tahun 1988 Pertamina memperkenalkan  beberapa terms and condition yang berbeda untuk kontrak area baru dan perpanjangan. Kontrak area baru dibagi menjadi 2 kategori yaitu konvensional dan frontier. Komersialitas dibatasi dengan minimum pendapatan negara adalah 25% dari pendapatan kotor dan ditentukan oleh Pertamina dan Kontraktor
PSC Generasi keempat (1994 – 2001): 
  • Titik acuan PP Nomor 35 Tahun 1994
  • Dana ASR
  • Besaran pajak berubah dari 48% menjadi 44% yang terdiri dari 30% dan pajak dividen sebesar 14%.
  • Standar investment credit untuk keperluan cost recovery turun dari 17% menjadi 15.78%.
  • Skema bagi hasil sebelum pajak juga berubah menjadi 73.22%:26.78%.
  • DMO sebesar 25% dari milik kontraktor (15% dari harga export setelah 5 tahun pertama produksi)
  • Jangka Waktu Esplorasi selama 6 tahun dan hanya dapat diperpanjang 1 kali selama 4 tahun
  • Komersialitas tidak diberi batasan minimum pendapatan pemerintah.
  • Sebelum melakukan kegiatannya Kontraktor diwajibakan melakukanenvironmental base line study.
Perubahan ke satu
Pada tahun 1997, Pertamina merubah beberapa pokok terms & condition dalam rangka meningkatkan kegiatan eksplorasi. Pokok-pokok tersebut adalah:
Sebelum generasi keempat komitmen dalam bab IV PSC berupa komitmen finansial maka dalam PSC generasi ini komitmen berubah menjadi komitmen Finansial dan Kegiatan. Namun pelaksanaannya masih dihitung secara finansial.
Sebelum generasi keempat komitmen dalam bab IV PSC berupa komitmen finansial tanpa ada pembagian jenis komitmen maka dalam PSC generasi ini berubah menjadi untuk 3(tiga) tahun atau 2 (dua) tahun pertama disebut sebagai komitmen pasti. Apabila gagal memenuhi komitmen pasti dan kontraktor mengembalikan wilayah kerja tersebut maka  kontraktor wajib membayar kekurangan pelaksanaan komitmen pasti tersebut.
Perubahan kedua
Pada tahun 1998, besaran harga DMO berubah dari 15% menjadi 25% harga ekspor

Perubahan ketiga
Pada tahun 1999, mulai diperkenalkan istilah performance deficiency notice.

PSC Generasi kelima: 2001-2007:
Perubahan dari finansial komitmen menjadi work program Komitmen
PSC Generasi Keenam: 2008-skrg:
POD Basis, dana ASR dalam escrow account, LCCA, Subsequent Petroleum Discovery, persyaratan perpanjangan jangka waktu eksplorasi dipertegas, penurunan pajak penghasilan mengikuti UU No.36 Tahun 2008

Perubahan pertama-2009: untuk WK GMB diperkenalkan Handling production sebelum POD
Perubahan Pengelolaan Migas Pasca Reformasi
Setelah Reformasi politik terjadi di Indonesia tahun 1998, perubahan pengelolaan migas berubah menjadi sangat berbeda.
Pada tanggal 23 Nopember 2001 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dimana yang menjadi dasar pertimbangan diundangkannya Undang-Undang tersebut adalah sudah tidak sesuainya lagi UU No. 44 Prp. Tahun 1960 dengan perkembangan usaha pertambangan migas baik dalam taraf nasional maupun internasional. UU 22/2001 ini terutama merubah sisi downstreamatau hilir menjadi terbuka utk perusahaan asing dari luar negeri.

Perubahan yang terjadi pada UU Migas 22/2001 ini dapat disarikan terlihat dibawah ini.
Gambar 6. Perubahan perundangan dalam pengelolaan migas sejak Indische Mijnwest (IMW, UU Prp 44/tahun 1960 dan UU 22/2011.
Yang paling utama dalam pembaharuan pengelolaan migas ini adalah pengalihan pengelolaan migas dalam Kuasa Pertambangan dari Perusahaan Negara PERTAMINA kepada pemerintah.
Gambar 7. Pengaturan pengelolaan Migas dalam UU No 22 tahun 2001.
Salah satu hal utama sebagai konsekuensi pengesahan UU 22/2001 ini adalah perlu dibentuknya adanya Badan Pelaksana (dibentuk BPMIGAS) dan Badan Pengatur  (dibentuk BPHMIGAS) serta perubahan bentuk  PERTAMINA menjadi persero. PERTAMINA bukan lagi sebagai perusahaan pengelola dan pemegang kuasa pertambangan. Dalam kegiatan hulu PERTAMINA akan menjadi perusahaan yang diberlakukan seperti perusahaan-perusahaan kontraktor. Dan akhirnya PERTAMINA juga mendandatangani KKKS dengan MIGAS pada tanggal 17 September 2005.
Dalam hal produksi nasional, BPMIGAS menjadi badan negara yang mengelola produksi atas bagihasil di lapangan-lapangan yang dikelola oleh kontraktor (KKKS).
Tantangan : Eksplorasi sebagai satu-satunya cara meningkatkan produksi.
Gambar 8. Tantangan Eksplorasi di Indonesia terutama di Indonesia Timur dengan kemungkinan terdapatnya gas di daerah laut dalam.
Penemuan-penemuan gas setelah tahun 1990 banyak dijumpai di Indonesia Timur. Tentusaja daerah ini sulit untuk dikembangkan dengan cepat. Namun setelah diundangkan UU Migas 22/2001 ini penemuan migas ini menjadi sangat menurun. Hanya penemuan lapangan-lapangan kecil yg dijumpai dan banyak yang sangat marjinal untuk dikembangkan secara ekonomis
Perlu dana eksplorasi migas dari APBN.
Didalam pengusahaan migas untuk menjamin ketersediaan serta kesinambungan produksi maka usaha eksplorasi-lah yang merupakan satu-satunya cara untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi. Permasalahan yang sering dijumpai investor dalam usaha penemuan minyak (eksplorasi) ini terutama tumpang tindih lahan, tumpang tindih aturan ( ESDM – KEHUTANAN – PERIKANAN – KELAUTAN- PERHUBUNGAN), keterbatasan data, serta sulitnya akses dan minimnya infra struktur.
Lemahnya niat pemerintah dalam usaha peningkatan produksi dengan usaha eksplorasi ini tercermin pada  minimnya dana Plow Back (yaitu dana untuk kebutuhan eksplorasi migas yang diperoleh dari keuntungan usaha eksplorasi itu sendiri). Dari penerimaan Negara Dari Sektor Migas Sebesar 28% hanya diberikan  Plow Back Migas 0,07% Dari Penerimaan Sektor ESDM Tahun 2011. Rata-rata perusahaan migas akan mengeluarkan 10-20% anggarannya untuk usaha eksplorasi (pencarian lapangan baru).
Dalam dunia eksplorasi termasuk eksplorasi migas, “data geologi” yang menjadi bahan dasar untuk kegiatan eksplorasi merupakan “soft infrastrcuture“. Pengambilan data baru oleh pemerintah yang diambil dari dana APBN perlu ditambah untuk membantu serta mempercepat usaha eksplorasi, dimana nantinya akan membantu menjamin ketersediaan energi migas dimasa mendatang. Dengan cara investasi seperti inilah perusahaan dapat bertahan bahkan meningkatkan produksinya. Semestinya negara (pemerintah) juga memberikan batuan akselerasi waktu dalam melakukan usaha eksplorasi dengan memberikan dana belanja untuk penyediaan dan akuisisi data baru untuk melakukan penelitian sebagai bagian dari perbaikan infrastruktur eksplorasi.